Read more: http://aslam-blogger21.blogspot.com/2013/06/membuat-blog-dikelilingi-kupu-kupu.html#ixzz2WoiXFYrF

Senin, 21 Mei 2012

Keanehan-keanehan di Lokasi Jatuhnya Sukhoi

Keanehan-keanehan di Lokasi Jatuhnya Sukhoi 
 
 
 
Sukabumi - Gunung Salak yang berada di dua kabupaten yakni Kabupaten Sukabumi dan Bogor memiliki rahasia-rahasia yang terkadang sulit diterima akal sehat manusia.

     Gunung yang dikenal dengan fenomena alamnya ini ternyata memiliki nilai mistis yang cukup kental dengan ditandai banyak makam keramat yang berada di kawasan gunung, seperti makam keramat Kyai Eyang Santri dan Muhammad Hasan Basri bin Bahaudi bin Mbah Gunung.
Selain itu, di Gunung Salak ini menurut silsilah merupakan tempat bertapa dan bersemayamnya prajurit Padjajaran dan para jawara-jawara yang memiliki ilmu tinggi.
Menurut kisah warga masyarakat sekitar, pernah ditemukan binatang seperti babi hutan yang sangat besar dan warga yang tinggal di sekitar lereng gunung mempercayai adanya ular kuda emas yang merupakan penunggu hutan yang tugas menjaga kelestarian Gunung Salak.
Gunung Salak juga dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai gunung yang memiliki medan magnet mistik yang cukup tinggi dan memiliki daya pesona yang bisa membuat siapa saja yang datang ke sana tertarik dengan daya magisnya, bahkan burung yang melewati Gunung Salak bisa tiba-tiba terjatuh dan mati tanpa penyebab yang pasti.
Juru Kunci Makam Keramat, Mbah Idim Dimyati mengatakan sebenarnya Gunung Salak ini memiliki beberapa keajaiban dan keanehan seperti tingginya yang tidak seberapa dibandingkan dengan Gunung Gede dan Pangrango.
Tetapi ternyata untuk menuju puncak dengan berjalan kaki bisa memakan waktu hingga tujuh jam, padahal untuk mencapai puncak Gunung Gede dan Pangrango hanya memakan waktu paling lama enam jam saja.
"Ini sudah tidak aneh lagi kenapa Gunung Salak merupakan daerah rawan, arti rawan di sini bukan masalah bisa menyebabkan kecelakaan karena benda apapun yang ada di atasnya kerap terjatuh atau seperti tertarik masuk ke kawasan Gunung Salak yang tidak bisa dibayangkan dengan logika," kata Idim yang juga merupakan keturunan dari kuncen Gunung Salak.
Dikaitkan dengan seringnya terjadi kasus pesawat jatuh di Gunung Salak seperti pada peristiwa jatuhnya pesawat komersial Sukhoi Superjet-100 yang jatuh pada Rabu, 9/5 lalu menurut juru kunci yang sudah 20 tahun menjaga makam keramat yang berada di kawasan Gunung Salak sebelum kejadian dirinya sempat melihat ada salah satu makam keramat yang rusak akibat tertimpa kayu.
Namun dirinya tidak mengetahui apakah ada kaitannya dengan rusak salah satu makam tersebut.
Tetapi, dilihat dari jatuhnya pesawat milik Rusia tersebut lokasi jatuhnya tidak jauh dari keberadaan makam keramat, namun dirinya tidak ingin berspekulasi atas peristiwa nahas tersebut .
"Dalam makam keramat tersebut berisi orang-orang yang diyakini suci dan memiliki ilmu yang tinggi, sehingga tidak mungkin meminta tumbal atau apapun, yang jelas ada kekuatan lain yang tidak bisa diceritakan melalui nalar normal manusia," katanya.
Namun yang perlu diketahui, jatuhnya pesawat tersebut berada di lokasi Gunung Sanggul yang merupakan salah satu daerah rawan di Gunung Salak.
"Jangan salah, benda apapun yang melewati gunung ini kerap terjatuh, bahkan burung yang lewat Gunung Sanggul tiba-tiba terjatuh dan mati," katanya.
Peristiwa jatuhnya pesawat kerap terjadi di daerah tersebut, namun dirinya tidak mau menjelaskan secara pasti apa kekuatan yang ada pada daerah itu, seperti jatuhnya pesawat Cessna pada 2011 lalu dan lokasinya tidak jauh dari Gunung Sanggul yang merupakan bagian anak dari Gunung Salak.
Orang biasanya mengaitkan ada pesawat yang lewat jalur tersebut akan jatuh karena ada kekuatan yang menariknya, tetapi dirinya tidak ingin masyarakat mempercayai secara utuh.
Tetapi dari cerita mulut ke mulut Gunung Sanggul merupakan tempat bersemayamnya para sesepuh dan jawara yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi, sehingga dengan kekuatan seperti itu bisa menarik benda apa saja yang ada di atasnya.
"Ini memang masalah kepercayaan dan masih perlu dibuktikan secara ilmiah, " katanya.

Selasa, 17 April 2012

Alat Musik Karo

Alat Musik Karo dan Gendang Karo

Gendang Karo yang umum dilakonkan dalam pesta-pesta adalah gendang lima si dalinen yang menggunakan lima jenis alat musik Karo yaitu:
1. Sarune yang dimainkan oleh "panarune" dengan cara ditiup
2. Gendang Indung yang dimainkan oleh "penggual" pertama, menggunakan 2 buah stick
3. Gendang Anak yang dimainkan oleh "penggual" kedua, menggunakan 2 buah stick
4 & 5 Gong dan Penganak yang dimainkan oleh satu orang saja "simalu gong", dipukul sesuai irama

Pemain gendang Karo ini menjadi satu group terdiri dari 4 orang yang umumnya ditanggap pada saat ada pesta untuk mengiringi tarian Karo yang akan dilakonkan dalam pesta tersebut.
Foto-foto berikut ini menampilkan group penggual dari Tanah Karo (Kabupaten Karo) dalam memainkan alat-alat musik tradisional Karo tersebut. Contoh suara musik ini bisa lihat di http://www.youtube.com/watch?v=SK3b5ssMLhE
Sarune
Gendang Indung & Gendang Anak
Gong
Penganak

Minggu, 15 April 2012

The Special Headdress Of Karo Tell a Story

     Exotic and Unique. That is the proper word for the traditional wedding attire of Batak Karo, North Sumatera. The Characteristic is on its headress. Besides presenting the beauty and exclusivity, this headdress made from ulos was an everyday tradition of the Karo’s society as a protection from the daylight sun shine, or from the night cold wind. For the bride’s appearance, this unique headress as tough has an abilty to tell story.
(Majalah MAHLIGAI edisi ke 5 Juli 2009)
Itulah kalimat pembuka halaman 10 majalah tradisi, pernikahan, dan gaya hidup MAHLIGAI edisi Juli yang saat ini banyak beredar di berbagai toko buku maupun agen koran dan majalah. Di kalimat pembuka itu saja saya sudah menarik kesimpulan adanya kesalahpahaman karena ketidakpahaman.
Budaya Karo tidak mengenal yang namanya Ulos. Apalagi menggunakan ulos dalam pakaian perkawinan tradisional Karo (Ose). Adapun jenis-jenis kain karo/uis terbagi oleh 19 corak : Beka Buluh, Uis Nipes Padang Rusak, Gatip Jongkit, Uis Nipes Benang Iring, Kelam-kelam, Julu, Ragi Mbacang, Jujung-jujungen, Uis Gara Jongkit, Langge-langge, Uis Teba, Uis Pementing, Uis Batu Jala, Uis Arinteneng, Gatip Cukcak, Uis Gara benang emas, Gobar Dibata, Gatip Gawang, dan Uis Perembah.

Di halaman 25, dua pose model yang menggunakan ose Karo membuat kita langsung mengeryitkan dahi. Bukan apa-apa, terutama untuk standar pakaian pengantin pria yang dikenakan oleh model perlu dicermati untuk dikritik. Beka buluh yang dikenakan di bahu dibiarkan tergerai begitu saja. Tidak dilipat seperti lazimnya pria-pria Karo menggunakan beka buluh sebagai tanda-tanda. Dan anehnya di bahu kanan model dibiarkan selembar kain beka buluh tergantung begitu saja tanpa arti. Kain penutup kaki pria dibalut oleh sebuah kain dengan corak yang tidak seharusnya. Selazimnya kain penutup kaki pengantian pria Karo adalah Gatip. Dan semakin tidak lengkap dengan tidak adanya selempang yang digunakan yang biasanya menggunakan uis pementing.
Di halaman 55 diberi tajuk The Wedding Procession of Bataks Customs (Pernikahan adat Batak). Sayangnya di tajuk ini semua sesi digunakan adalah prosesi adat Batak Toba. Sementara sepanjang halaman hampir 90 % adalah foto-foto prosesi perkawinan Karo. Dan di halaman 59 tertulis Kamus Istilah Batak dengan gambar para wanita Karo dengan menggunakan tudung yang saya bisa tebak acara itu di gedung Berlan Matraman, namun di kamus istilah Batak ini tidak ada satupun menggunakan istilah Karo yang diterjemahkan! (semuanya adalah istilah Toba).
Kehadiran majalah MAHLIGAI edisi Juli ini sangat menarik perhatian saya. Terutama saat cover depan yang menampilkan seorang wanita yang memakai pakaian tradisional Karo. Hanya saya sedikit menyayangkan literatur isi dan gambar-gambar yang ditampilkan sama sekali tidak mencerminkan filosofi keaslian adat istiadat Karo itu sendiri. Intinya tampilan majalah ini tidak mencerminkan bahwa Karo sebetulnya punya jati diri sendiri yang tidak mengikat/diikat dengan salah satu etnis Batak.
Entah apa yang ada dipikiran Merdi Sihombing, sang konsultan busana adat Batak di majalah ini. Apakah sang desainer sudah mencari masukan dari para praktisi busana Karo sebelum menampilkan karyanya? Saya pikir pasti tidak.
Kalau saya disuruh untuk menampilkan busana Tapanuli untuk konsumsi majalah sekelas MAHLIGAI yang dikonsumsi publik luar negeri, saya tidak akan berani begitu tanpa saya harus melakukan riset dan konsultasi dari budayawan Tapanuli. Pakaian adat adalah citra sebuah suku dan tidak mungkin kita tampilkan asal-asalan atau dengan alasan dasar sekedar keindahan. Dengan sendiri kita sudah menghancurkan keaslian suku itu dihadapan publik nasional maupun internasional.
Sisi lain, saya cukup bangga dengan tampilan cover majalah ini. Majalah yang dibanderol dengan harga Rp 49.500, atau diluar negeri dijual dengan harga RM 50, S$ 10, US $5 telah menampilkan sebuah keagungan traditional ethnic yang disebut Karo. Kebanggaan itu kembali menguatkan eksistensi suku Karo sebagai kekayaan budaya Nusantara.

Mengapa Sastra Karo Tidak Pernah Laku ?

  
       Mengapa demikian? Suatu alasan sederhana, setiap sesuatu yang berbau Karo selalu susah laku. Terutama jika kita menjualnya pada orang Karo itu sendiri. Tapi tidak pada orang lain (diluar orang Karo). Mungkin hal ini disebabkan orang Karo sendiri menganggap sesuatu tentang Karo adalah kampungan. Atau bahkan bentuk kesadaran orang Karo pada budaya, seni dan alamnya semakin memudar.
Kalau hal ini menjadi acuan, sungguh sangat disayangkan. Untuk itu saya menarik benang merah tentang sastra Karo. Berapa buku yang telah dilahirkan penulis Karo tentang budaya Karo ? Sebenarnya cukup banyak. Kalau kita bisa menyebut beberapa nama lama yang berdedikasi tinggi seperti Sempa Sitepu, Masri Singarimbun, Payung Bangun, Darwan Prinst, Brahma Putro, Dkn P. Sinuraya, R. Tarigan Pekan dsb. Tapi apakah buku-buku yang mereka tulis laku di pasaran ? Maaf adakah pembaca yang bisa membantu untuk memberikan jawaban atas pertanyaan saya di atas ini? Karena pada waktu mereka menulis, saya masih kecil dan belum tahu apa-apa. Terlebih kesadaran akan Karo dan kekaroan itu sendiri. belum terbangun secara maksimal.
Tapi saya akan mencoba menebak. Dan mudah-mudahan tebakan saya tidak salah. Nilai Sastra dan Budaya yang mereka jual tersebut tidaklah terlalu laku. Walaupun laku, pembelinya mungkin di kalangan orang tua yang masih sadar akan budayanya dan orang-orang non Karo yang tertarik untuk mempelajari budaya Karo. Apakah mereka menarik meraih keuntungan besar dari apa yang mereka tulis ? Mereka tentu menggeleng kepala. Kesadaran akan kecintaan terhadap Karo membuat mereka menyumbangkan sebagian pikirannya tanpa pamrih.
Kita cukup bangga punya beberapa penerbit, percetakan & toko buku yang mengeluarkan sastra Karo. Seperti Kesaint Blanc, Ulih Saber, Abdi Karya, Berkat Jaya, Pustaka Soramido dan lain sebagainya. . Tapi apakah buku-buku yang mereka keluarkan habis laku terjual ? Kembali gelengan kepala harus dilakukan.
Satu momentum indah ketika tabloid Sora Mido, Karo Post, Tenah dan Sibayak Post menunjukkan tajinya atas pengembangan & kemajuan masyarakat Karo. Tapi kendala-kendala yang seputaran sirkulasi dan marketing merupakan contoh klasik mengapa “Sastra Karo tidak pernah Laku”. Dan sebagai penulis, saya tidak perlu lagi menggeleng kepala. Karena kata maklum harus segera diucapkan.
Pemilik percetakan Ulih Saber mengatakan pada saya bagaimana perjuangannya menjual tanah miliknya agar bisa memodali percetakan buku-buku budaya Karo. Bahkan dia harus menjual buku tersebut dari jambur ke jambur (baca : door to door) agar orang Karo bisa membelinya. Mendengar keluh kesahnya tersebut, saya tersenyum getir sambil berusaha menahan sembabnya kelopak mata.
Bagaimana perkembangan sastra Karo di tingkat nasional? Sedari kecil saya memang akrab dengan buku. Buku merupakan kekasih saya yang menemani kemanapun saya pergi. Ketika masih mahasiswa di Bandung, saya menghabis berjam-jam di Gramedia Merdeka. Tapi diantara sekian ribu judul buku yang ada, hanya satu penulis yang memakai merga Karo. Yakni Ita Sembiring. Nama itu sangat indah untuk disebut dan diperbincangkan sebagai penghancur tembok bata (istilah ini dari Ita Sembiring sendiri). Walau karyanya berskala nasional, tapi sang kakak tak lupa membubuhkan nama dan lokasi kejadian pada novelnya tentang Karo. Sayangnya, tak semua orang Karo yang tahu siapa Ita Sembiring.
Hampir saya menitik air mata karena haru ketika seorang Martin Perangin-angin yang tahan banting dan tidak peduli untung rugi mengeluarkan bukunya berjudul ” Orang Karo Diantara Orang Batak “. Saya melempar topi keatas (bukan saja mengangkat topi) karena keberhasilan buku essai budaya Karo itu menembus Gramedia seluruh Indonesia. Tentu saja saya tidak bermaksud mengesampingkan beberapa buku tentang Karo lainnya yang banyak beredar di Gramedia Medan.
Di jaman globalisasi ini, sudah banyak orang Karo sudah tidak peduli lagi dengan Kekaroannya. Sebagai kesimpulan, sebagai penulis Karo kita tidak perlu berpikir akan pamrih terhadap pengorbanan yang kita berikan dalam memajukan budaya Karo dalam bentuk tulisan.
Keterpurukan tentu tidak menjadi dasar untuk berhenti menulis walau tulisan itu tidak laku/ditolak. Sebagai orang Karo berpendidikan, ada baiknya kita menanamkan sikap bangga pada budaya kita sendiri, terutama dalam menghargai segala bentuk sastra Karo. Kepekaan dalam membaca sesuatu tentang Karo dapat kita jadikan acuan. . Kalau bukan kita, siapa lagi yang bangga akan sastra Karo. (*** penulis adalah seorang pekerja Sastra Karo. Pendiri sekaligus Sutradara Teater Topeng di Bandung)

Karo Dan Sifat Merganya

    
     Sebuah konteks dalam sifat setiap manusia tidak lepas dari aspek psikologis (kejiwaan) manusia itu sendiri. Dengan kebesaran kuasaNya, Tuhan menciptakan manusia dengan keberagaman sifat. Tentu setiap manusia di muka bumi ini diciptakan dengan sisi baik dan buruknya.
Manusia Karo juga tidak terlepas dari keberagaman sifat (biak) itu. Sifat yang dimiliki setiap individu Karo tentu berbeda-beda. Tapi ada sifat dasar pembawaan dari merga yang dipakainya. Mungkin juga sifat ini didasarkan beberapa sebab seperti satu keturunan (terombo), satu kampung berikut kebiasaan dan tradisinya sampai letak geografis tempat tinggal.
Dibawah ini akan dijabarkan sedikit tentang sifat-sifat (Biak-biak) Si Lima Merga. Penulis meriset semua sifat-sifat ini dari wawancara dengan orang-orang tua, beberapa tulisan juga pengalaman pergaulan dari kehidupan sebagai orang Karo di tengah tatanan budaya Karo yang kental.
Karo-Karo
Merga Karo-karo rata-rata cerdas dalam berpikir dan bertindak. Ini terbukti dengan orang Karo yang meraih gelar sarjana pertama kali adalah Dr B. Sitepu dan Mr. Jaga Bukit. Profesor pertama dari Karo adalah Prof. A.T. Barus. Gubernur Sumatera Utara dari Karo pertama kali adalah Ulung Sitepu. Sampai menteri dari Karo yang pernah diangkat adalah M.S. Kaban.
Karo-karo biasanya berkemauan kuat dan berusaha keras meraih cita-citanya. Karena kemauan dan kerja kerasnya itu tidak sedikit Karo-karo berhasil meraih segala keinginannya.
Beru Karo terkenal berani dalam bertindak. Ketika ada yang tidak sesuai keinginan hatinya maka apapun bisa dikata-katainya. Cenderung bersifat mendominasi dalam rumah tangga. Tapi beru Karo terkenal kepintarannya sebagai penyeimbang rumah tangga.

Ginting

Merga Ginting lantang dalam berbicara. Kalau memang pendapatnya benar akan terus dipertahankannya. Siapa yang tidak kenal nama yang sudah didekasikan menjadi salah satu jalan terpanjang di negeri ini, Letjend Jamin Ginting. Termasuk anggota MPR RI, Sutradara Ginting yang pintar dalam mengungkapkan pendapatnya.
Tidak takut untuk memulai sesuatu yang baru. Mempunyai jiwa kepemimpinan yang kuat. Cenderung patuh pada istrinya.
Beru Ginting terkenal tidak malu tampil ke tengah. Kalau belum berbuat sesuatu rasanya belum ada kepuasan dalam dirinya. Keberaniannya terkadang tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi terhadap tindakannya.

Sembiring

Merga Sembiring rata-rata berjiwa diplomatis. Sedikit berbicara tapi dalam artinya. Terkadang pelan-pelan mengutarakan pendapatnya sehingga keinginan hatinya diterima semua orang. Siapa yang tidak kenal dengan keturunan Sibayak Sarinembah, Mayjend Raja Kami Sembiring dengan vokalnya yang menghebohkan gedung MPR RI Senayan beberapa tahun lalu. Kriminolog Adrianus Meliala juga termasuk salah satu contoh.
Cenderung malu dan takut mengutarakan cinta pada gadis yang dipujanya. Bahkan sekalipun ditanya apakah dia mencintai gadis itu dengan cepat akan ditampiknya dengan halus.
Beru Sembiring berjiwa penyabar. Walau banyak yang tidak menyenangi dirinya dengan sabar dia akan menerimanya. Cenderung sebagai penguasa rumah tangga. Sehingga rumah tangga berada dibawah kendalinya.

Tarigan

Merga Tarigan pintar berbicara. Di kedai kopi ataupun jambur semua obrolan akan didominasinya. Cepat berkelit dalam berkata-kata jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan maksudnya.
Karena pintar berkata-kata rata-rata merga Tarigan berjiwa dagang. Mulia Tarigan salah satu contohnya. Juga Mestika br Tarigan menjadi psikolog terkenal saat ini.
Beru Tarigan bersifat pasrah terhadap sesuatu yang didapatnya. Apa yang dikatakannya terkadang berbeda dengan isi hatinya.

Perangin-angin

Merga ini disebut dengan julukan Tambar Malem (selain Sebayang). Tambar Malem maksudnya disini adalah kepintaran dalam berkata-kata untuk menghibur orang. Jika ada orang mengalami masalah, Perangin-angin pintar memakai lidahnya untuk menghibur dan mencari solusi jalan keluarnya. Bersifat moderator dan mediator.
Cenderung harus dibujuk-bujuk (tami-tami) dan cemburuan. Berani dalam bertindak dan mengungkapkan pendapatnya. Aktor kawakan Advent Bangun yang telah memakai lidahnya dalam berkotbah di mimbar gereja. Termasuk perjuangan Kiras Bangun alias Pa Garamata dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini.
Beru Perangin-angin berjiwa ingin tampil. Ada suatu kebanggaan jika dirinya diperhatikan orang. Bersifat menguasai keluarganya sendiri. Kepintarannya dalam mencari muka pada orang tuanya terkadang membuat perselisihan dengan turangnya sendiri.
Sifat-sifat merga di atas tidak bisa menjadi tolak ukur bagi kita untuk menyimpulkan sifat seseorang dari merganya. Perkembangan jaman, kehidupan sosial dan perkawinan dengan berbagai suku sedikit demi sedikit mengikis sifat-sifat merga itu sendiri.
Jadi sifat merga diatas hanyalah sebuah kesimpulan kecil dari sebuah penelitian yang setiap saat bisa disanggah dan diperdebatkan. Sekali lagi janganlah kesimpulan diatas menjadi acuan kita untuk menilai sifat merga dan juga sifat seseorang.
Tapi jika kita menelusuri lebih dalam setiap orang Karo mempunyai sifat yang hampir sama. Mungkin dikarenakan alam, budaya dan seninya yang mengacu pada kehidupan sosial Karo itu sendiri.

Catatan kecil tentang sifat orang Karo

Orang Karo itu tidak terlalu rajin tetapi bukan pemalas. Berjiwa lemah lembut dan toleransi yang kuat. Sifat gotong royong dan memusyawarahkan sesuatu secara “sangkep nggeluh” menjadi nilai yang dikedepankan dalam strukur sosial masyarakatnya.
Prinsip hidupnya adalah, ”Ertuah bayak sangap encari,” yang artinya berkembang biak murah rejeki dan etos kerja yang digunakan, “Mangkuk reh mangkuk mulih, Ola lolo cametendu”.
Filosofi hidup orang Karo itu,”Pebelang juma maka mbelang man peranin, Jemur pagendu sangana las,” yang artinya perbanyak mata pencaharian supaya banyak hasilnya, gunakan kesempatan yang ada.
Ada juga falsafah yang mengatakan, “Keri gia pola isina, gelah mehuli penangketken kitangna,” biarpun habis air nira diminum, asal yang meminum itu menggantungkan tempatnya (kitang) itu dengan baik.
Kelemahan orang Karo pada umumnya mudah tersinggung dan sakit hati. Apabila rasa sakit hati dan ketersinggungan itu terlalu mendalam akan menimbulkan reaksi. Tetapi lebih banyak mengundurkan diri dalam percaturan. Tapi umumnya mempunyai sifat pendendam.
Orang Karo sangat sensitif tetapi menyimpan sifat ideal sebagai single fighter. Berani memulai sesuatu walau tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya. Mempunyai jiwa merantau (erlajang) dan dengan cepat bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ada istilah sendiri yang mengacu hal ini, “Kalau masuk ke kandang kambing, dia akan mengembik tapi tidak jadi kambing. Kalau masuk ke kandang harimau, dia akan mengaum tapi tidak jadi harimau.”
Sebuah sajak indah yang pernah ditulis Djaga Depari tentang Merga Silima

Si Lima Merga

De nen percibalna
tutus atena ras sumangatna
kinigenggengenna ninta
cukup me tuhuna
meteh mehuli meteh mehangke
dahinna la murde
ertuding ras jore
beluh nge erjile-jile
Tapi lit dengang ia pandangen
simorahen ras sicianen
pergelut perbenceng permeja
nakan segarun terbuang dungna
iban si sitik selembar ngenca
De lakin robah
la kin jera
ngerasa kerina
si lima merga

(Terjemahan)

Si Lima Merga

Kalau dilihat keadaannya
rajin serta besar semangatnya
tahan menderita kata kita
Cukuplah memang
tahu baik tahu malu
pekerjaannya tidak jelek
beres dan teratur
tahu pula menghias diri
Tapi masih ada juga kekurangannya
iri hati dan dengki
mudah sakit hati dan putus asa
nasi sebakul terbuang jadinya
karena rambut sehelai saja
Kalau tidak berubah
tiada jera
merasalah semua
Si Lima Merga
Masing-masing kita sudah mengetahui sifat kita sebagai pribadi maupun sebagai seorang Karo. Tapi alangkah baiknya jika kita menelaah mana sifat yang mendukung hidup ke arah positip dan mana malah yang menghambat.
Adalah suatu jiwa besar jika kita meninggalkan kebiasaan lama dan memulai sesuatu yang lebih baik. Dengan menggunakan sifat yang baik dari kita secara pribadi dan juga dengan sesama niscaya memberikan harapan perubahan baru dalam hidup kita. Salam budaya!

Bahasa Karo........ Oh Bahasa Karo



Jangan katakan dirimu Karo
Kalau kau tidak bisa berbahasa Karo
Buka saja topeng kekaroanmu
Karena aku benci Karo Dibalik Topeng
(Joey Bangun, KARO DIBALIK TOPENG)

   Berapa diantara kita yang membaca tulisan ini yang mengerti, atau bisa/fasih/pasif menuturkan bahasa Karo? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab kepada saya. Tapi cukup dijawab di hati saudara. Coba sekali lagi renungkan penggalan monolog yang saya tuliskan di atas dan coba raba-raba dimanakah kedudukan anda sekarang. Selagi anda masih meraba-raba, saya sudah menyimpulkan “kebudayaan Karo diambang krisis identitas”.

     Dalam ilmu antropologi bahasa/language dikenal dengan sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia, dan yang digunakan sebagai sarana interaksi antar manusia. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Di sisi lain dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan sebuah identitas suku/bangsa.
Sangat lucu, misalnya, jika seorang Karo memperkenalkan dirinya pada orang lain yang bukan orang Karo, “Saya adalah orang Karo.” Lalu orang non Karo itu bertanya, “Bagaimana bahasa Karo?” Orang Karo itu bingung bukan kepalang. Karena pada dasarnya dia memang tidak tahu bahkan tidak mau belajar bahasa Karo. Justru dia lebih lancar berbahasa Inggris daripada bahasa ibunya sendiri. Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa ibunya, sedang bahasa Karo adalah bahasa ibu tirinya.
Sekarang menjadi pertanyaan bagi kita, “Bagaimana kita menunjukkan kepada semua orang tentang eksistensi suku Karo wong kita sendiri tidak tahu bahasa Karo.” Berpikirlah yang logis dan tidak usah muluk-muluk. Untuk apa kita berbuat begini atau begitu demi Karo sedang kita sendiri tidak menjadikan bahasa Karo bagian dalam hidup kita. Bahasa Karo sudah dianggap bukan bagian yang penting dalam akhlak kehidupan. Disinilah awal krisis identitas itu.
Sumatera Utara memang unik. Propinsi terbesar di pulau Andalas itu terdiri dari 8 suku bangsa dengan 8 bahasa yang berbeda pula. Jadilah Medan sebagai ibukota propinsi sebagai kota multi etnis. Dan tentu saja semu suku berbaur menjadi satu. Maka bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan dikenal oleh semua suku-suku itu dijadikan sebagai alat interaksi.
Kalau memang maksud cita-cita dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tentu saja cita-cita tersebut sudah terwujud di Medan. Namun ketika kita berbicara tentang bahasa sebagai identitas suatu suku/bangsa, atau katakanlah suku Karo dengan bahasanya, maka kita perlu was-was dengan keadaan ini.
Persoalan ini sebenarnya kompleks. Sedari kecil kita tidak pernah membiasakan diri berbahasa Karo. Kesalahan tentu saja tidak berpusat pada si anak dan lingkungannya. Namun lebih dititikberatkan pada sang orang tua yang tidak pernah membiasakan anaknya berbahasa Karo di rumah. Jadilah sang anak tidak paham berbahasa Karo.
Kecendrungan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Karo. Menurut Arif Rachman, Guru Besar bidang ilmu pendidikan bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta, “Kondisi bahasa-bahasa daerah di seluruh dunia yang sangat banyak ini ternyata hanya digunakan oleh minoritas masyarakat dan tergeser oleh bahasa-bahasa yang dianggap universal, seperti bahasa Inggris dan bahasa resmi negara masing-masing. Indikasi ini mencerminkan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masuk dalam kategori bahasa mayoritas, tetapi minoritas pemakaiannya, secara perlahan akan mengalami kepunahan.”
Dari apa yang dikatakan Arif Rahman di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa daerah bukan lagi merupakan bahasa mayoritas yang dipakai oleh sebuah etnik. Tetapi telah tergantikan oleh bahasa dominan yang dipakai masyarakat oleh negara itu.
Pemikiran di atas dapat disimpulkan, bahasa Karo bukan lagi merupakan bahasa mayoritas yang dipakai masyarakat Karo tetapi sudah menjadi bahasa minoritas.
Kesimpulan ini dikuatkan dengan fakta mayoritas masyarakat Karo saat ini tinggal di luar Karo. Hal ini menuntut masyarakat Karo itu untuk berbaur dengan berbagai etnis di tempat dia tinggal. Tentu saja dia akan menggunakan bahasa mayortitas disana apakah bahasa Indonesia atau bahasa daerah tempat dia tinggal. Jadilah bahasa Karo sebagai bahasa minoritas.
Untung saja bahasa Karo terbantu adanya beberapa komunitas arisan/perpulungen di kalangan Karo perantauan, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang liturginya sampai saat ini eksis dengan bahasa Karo walau di beberapa tempat waktu-waktu tertentu sudah menggunakan memakai bahasa Indonesia, Komunitas Karo Muslim, hingga Komunitas Karo Katolik.
Namun sayangnya keinginan belajar bahasa Karo tidak lahir dari diri sendiri. Efeknya bahasa Karo tidak populer dan ditinggalkan. Mungkinkah bahasa Karo akan punah? Lakukan sesuatu untuk itu!

Sejarah Dan Silsilah

SEMBIRING BRAHMANA
Sembiring Brahmana
MEGIT BRAHMANA

Pada abad 16, Seorang Guru Mbelin dari India bernama Megit Brahmana datang ke Tanah Karo. Kedatangan Megit Brahmana ke Tanah Karo pertama kali ke kampung Sarinembah, tempat seorang muridnya dulu di India berkasta Kstaria Meliala bermukim. Brahmana disebut juga golongan Sarma atau tertinggi dalam kasta di India.
Bersama muridnya ini Megit Brahmana berangkat menuju kuta Talun Kaban (sekarang Kabanjahe) dimana ada sebuah Kerajaan Urung XII Kuta yang rajanya adalah Sibayak Talun Kaban bermerga Purba.
Di daerah itu dia disambut hangat oleh Sibayak dan rakyatnya. Megit Brahmana menuturkan pada Sibayak ingin menyebarkan agama pemena (baca : Hindu) di daerah itu. Maksud kedatangan Megit dan muridnya ini disambut hangat oleh raja dan rakyatnya. Di daerah itu pula Megit Brahmana kemudian disegani sebagai pemuka agama. Sibayak lalu mengangkatnya sebagai penasehat pribadinya.
MEGIT BRAHMANA DAN GURU TOGAN RAYA 

Suatu hari Sibayak menuturkan masalahnya pada Megit Brahmana kalau dia mempunyai permasalahan dengan Guru Togan Raya. Tanah-tanah perladangan rakyatnya di kampung Raya dan Samura telah direbut oleh Guru itu. Guru Togan Raya bermerga Ketaren adalah seorang dukun sakti yang disegani semua orang. Dia berasal dari kampung Raya. Namanya Togan berarti menentang siapa saja yang menghadangnya. Guru itu mempunyai kerbau banyak. Kemana saja kerbau yang digembalakannya pergi maka tanah itu menjadi miliknya. Orang-orang yang punya tanah tidak berani menentangnya. Siapa yang menentang berarti mati.
Sibayak mengharapkan bantuan Megit Brahmana untuk bernegoisasi dengan Guru Togan. Megit Brahmana dan muridnya orang Meliala tersebut menyanggupinya. Mereka lalu membuat tempat pemujaan di ladang-ladang rampasan Guru Togan Raya.
Suatu hari ketika sedang bersemedi, mereka bertemu Guru Togan Raya. Mereka tidak ada saling berucap kata-kata namun menyatukan batin. Mereka saling menghargai dan menghormati. Ternyata setelah bertutur, Megit Brahmana dan Meliala adalah Anak Beru Guru Togan Raya. Akhirnya mereka menyampaikan maksud tujuan mereka. Guru Togan Raya mengabulkannya. Semua tanah perladangan Sibayak Talun Kaban dikembalikannya.
Semua orang Purba dan anak berunya menyambutnya dengan sukacita. Sejak saat itu hubungan merga Purba dan Ketaren semakin harmonis. Tempat pemujaan itu kemudian dinamakan Barung-Barung Berhala, karena banyak patung-patung berhala pemujaan Guru Mbelin Mbelin Brahmana. Sekarang Barung Berhala telah menjadi Kuta Berhala.

MECU, MBARU, MBULAN

Karena keinginan Sibayak agar kedua Guru Mbelin itu tidak pergi dari kampungnya Talun Kaban, maka Sibayak mengawinkan mereka dengan gadis pilihan dari keluarganya. Guru Mbelin Brahmana akhirnya mendapat 3 putra yang kemudian diberi nama Mecu, Mbaru, dan Mbulan.
Suatu hari Sibayak Talun Kaban dan pengawalnya berburu babi hutan. Rombongannya menyusuri lembah lau Gurun dan sampai ke sebuah pokok kayu bernama ‘buah’. Tiba-tiba anjing yang menyertai mereka mengonggong ke satu tempat. Di situ ada seekor kepiting besar. Sibayak melemparkan lembingnya dari bekas kepiting itu keluar air jernih, tempat itu kemudian dinamakan Lau Cimba Simalem.
Kemudian Sibayak Talun Kaban, memindahkan kampungnya dari Talun Kaban ke seberang jurang sungai Lau Cimba Simalem. Kuta itu kemudian diberi nama Rumah Kabanjahe. Kabanjahe artinya hilir kaban, karena kampung ini dihilir kampung Kaban dari merga Kaban.
Di kampung itu berdiri Rumah Derpih, Rumah Selat, Rumah Buluh, Rumah Galuh untuk putera-putera Sibayak. Sementara Guru Mbelin Brahmana mendirikan rumah-rumah anaknya yang bernama Rumah Mecu, Rumah Mbaru, dan Rumah Mbulan.
Sementara Guru Mbelin Meliala mendirikan rumah anaknya di sebelah timur yang bernama Rumah Julu. Lalu berdiri pula Rumah Jahe dari merga Purba Kuta Kepar. Dan terakhir Rumah Bale juga dari merga Purba.
MECU BRAHMANA DAN KETURUNANNYA

Mecu Brahmana mempunyai keturunan. Keturunannya kemudian menyebar ke Bulan Julu dan Namo Cekala
Sedangkan di Rumah Mecu Kabanjahe keturunanannya mempunyai 4 rumah adat tetapi dibawah pengulu kesain Rumah Mbaru.
MBULAN BRAHMANA DAN KETURUNANNYA
Mbulan Brahmana mempunyai anak lelaki beberapa orang. Salah satunya menjadi pengulu di kesain Rumah Mbulan Tanduk. Rumah adatnya ada dua.
Salah seorang anak laki-lakinya yang paling sulung pergi merantau ke kaki Sinabung. Disana dia kawin dengan seorang Beru Perangin-angin dan mendapat beberapa orang anak. Suatu hari keluar dari sebuah lubang kerbau yang sangat banyak dan tidak habis-habisnya. Putera Mbulan Brahmana bersama anak-anaknya kemudian menutup lubang itu, Dari lubang itu akhirnya tumbuh Buluh Kayan yaitu bambu yang bertuliskan aksara Karo.
Buluh Kayan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Orang-orang dari berbagai kuta berduyun-duyun datang ke kampung itu untuk berobat, Akhirnya kampung itu semakin ramai dan disebut Guru Kinayan yang berasal dari kata Guru Buluh Kayan.
Kemudian putra dari Brahmana di Guru Kinayan itu melanjutkan warisan bapanya sebagai Guru Kinayan. Sementara bapanya akan melanjutkan perjalanan. Mulai saat itu semua keturunannya disebut Sembiring Guru Kinayan.
Suatu saat datanglah musim kemarau. Anak Mbulan Brahmana dan puteranya yang lain mendaki Gunung Sinabung untuk melihat daerah mana yang ada airnya. Terlihat mereka sebuah kolam air di sebelah hilir Lau Biang.
Brahmana keturunan Mbulan itu melanjutkan perjalanannya ke kampung itu bersama anak laki-lakinya yang lain. Sementara anak laki-lakinya yang menjadi dukun penyembuh tetap tinggal di Guru Kinayan. Tibalah mereka di kampung Perbesi. Anak laki-lakinya kawin dengan Perangin-angin Sebayang. Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Perbesi.
Brahmana keturunan Mbulan itu suatu hari menggembalakan kerbau-kerbaunya yang banyak dari Guru Kinayan dan mendirikan barung-barung di Limang. Kerbau-kerbau yang digembalakannya bertambah banyak. Akhirnya dia menetap di Limang. Keturunannya kemudian menjadi Brahmana Limang.
Salah seorang keturunan Brahmana Perbesi pergi ke Kuta Buara dan bermukim disana.
Sementara keturunannya yang lain pergi ke Bekawar di Langkat dan kawin dengan gadis disana. Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Bekawar di Langkat Hulu. Keturunannya mendiami kampung Salapian dan Bahorok.

MBULAN BRAHMANA DAN KETURUNANNYA

Mbaru Brahmana kawin dengan Beru Purba. Keturunannya mendiami Rumah Mbaru di Kabanjahe. Salah satu kempunya mendirikan Rumah Kitik.
Salah satu keturunannya pindah ke kampung Singa. Keturunannyalah semua Brahmana Singa.
Keturunannya yang lain merantau ke Deli Tua. Disana dia kemudian menetap. Dan menjadi Anak Beru Deli Tua. 

BRAHMANA, GURUKINAYAN, PANDIA, COLIA, MUHAM

Lima merga Sembiring yang disebut Sembuyak yaitu Brahmana, Gurukinayan, Pandia, Colia, dan Muham. Selain Gurukinayan yang memang berasal dari Brahmana, ketiga merga yang lain diduga mempunyai kasta yang sama di India. Kelima merga ini satu perahu dalam Kerja Mbelin Paka Waluh yaitu tradisi menghanyutkan abu pembakaran mayat (ngaben) ke sungai Lau Biang yang dipercaya akan bertemu dengan sungai Gangga di India.
Kelima sembuyak ini kemudian sepakat kalau keturunan mereka tidak boleh saling mengawini. Perjanjian kelimanya dilakukan di sebuah kuta yang kemudian disebut Limang.
Sumber :
- Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman oleh Kongsi Sembiring Brahmana (Brahma Putro) 1981
- Adat Karo, Darwan Prinst, 2004
- Wawancara Brahma Putro dengan Nini Brahmana almarhum Pengulu dari Kampung Limang, ayah dari Rakutta Brahmana
- Wawancara Brahma Putro dengan Kelat Brahmana di Rumah Kabanjahe
- Wawancara Brahma Putro dengan Nini Brah, dan Djabayak, Putra Pengulu Limang
- Sejarah Batak Karo sebuah sumbangan oleh J.H. Neumannn, 1972
- M. Joustra : “Sembiringse Doodenfeest”, Bijdragen Kon. Inst T.L.V. 1918
- Wawancara penulis dengan Ganti Brahmana
- Wawancara penulis dengan Benar Purba
- Penelitian dan riset penulis tentang Sibayak Pa Mbelgah di Rumah Kabanjahe tahun 2006

Wanita Karo Di Indonesia 500 Early Poscrard

    Seorang wanita Karo tempo doeloe menjadi cover buku “Indonesia 500 early Postcards”. Wanita Karo itu duduk dengan gaya anggun memakai pakaian khas wanita Karo lengkap dengan tudung dan padung-padung tempo doeloe. Yang uniknya di atas tudung wanita Karo itu diletakkan “Sumpit Nakan”.
Keanggunan wanita Karo Tempo doeloe adalah sebuah sisi eksotik kearifan lokal budaya Karo. Yang pasti pose wanita Karo ini menjadi pose terbaik/pilihan dari 500 gambar kartu pos seluruh Indonesia yang dikeluarkan pada zaman kolonial.
Diantaranya ada beberapa yang menggambarkan kehidupan kuta Karo Tempo Doloe. Seperti Istana Sibayak Lingga di Kabanjahe. Istana Raja Karo ini berdiam 16 Jabu  (16 Keluarga). Istana ini sudah hangus dibakar rakyat Karo saat zaman Revolusi tahun 1947. Raja Sibayak Lingga terakhir adalah Raja Kelelong Sinulingga bulang dari Isfridus Sinulingga (suami Tio Fanta Pinem).
Buku yang dirangkum oleh Leo Haks dan Steven Wachlin. Buku ini ditawarkan dengan List price: $40.00. Di Indonesia bisa didapatkan di Toko Buku Gramedia dengan harga : Rp. 415.000,-… ..!

Tradisi Kontemporer Inovatif

    “Dikhotomi antara yang tradisional dan yang kontemporer adalah dikhotomi yang problematis. Dalam kehidupan kesenian di Indonesia sekarang, apa yang tradisional juga masih hidup di satu zaman dengan yang modernis dan avant garde,” kata Goenawan Mohamad pada diskusi “Rethinking Tradition” di Goethe Haus Jakarta Sabtu lalu. Diskusi ini menjadi penutup dari acara yang digelar selama beberapa hari, yaitu Regional Dance Summit “Transforming Tradition” di tempat yang sama.
Selain penyair/sastrawan Goenawan Mohamad, hadir pula penari Sardono W Kusumo sebagai nara sumber. Diskusi ini diikuti lebih 200 orang dan uniknya datang dari berbagai negara seperti Thailand, Filipina, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Australia, hingga New Zealand. Sementara dari seniman Karo yang hadir saya dan Fredy Ginting (pemeran bapa Rudang yang kini menjadi pemeran utama PUTRI HIJAU). Kebetulan kami menghadiri diskusi ini setelah menghadiri kerja-kerja/pesta adat di gedung Dittopad Jakarta Pusat siangnya.
Apa yang menarik di diskusi itu tentu saja thema yang diangkat “Rethinking Tradition” memikirkan kembali tradisi. Sebegitu pentingnyakah kita memikirkan tradisi sementara saat ini kita hidup dikukung oleh hiruk pikuknya dunia digital.
Saat saya menghadiri kerja-kerja/pesta adat di Dittopad, saya melihat banyak sekali orang berkumpul. Mereka datang dari kalangan berada hingga ke level hidup dari cukup. Mereka hadir di tempat itu bukan hanya mereka menerima undangan yang sama juga seperti saya. Bukan pula karena mereka sekedar menghargai yang punya hajatan. Sadar dan tidak sadar, orang-orang yang berkumpul itu sudah “Rethinking Tradition”. Mereka hadir karena latar belakang  tradisi mereka. Tradisi Karo!
Sebagian besar dari mereka berasal dari Karo. Terlihat dari gaya berpakaian mereka. Gaya omongan mereka. Gaya jalan mereka. Gaya bertutur mereka. Mereka semua tidak bisa menghilangkan gaya itu. Gaya itulah disebut dalam nilai kebudayaan yaitu kearifan lokal budaya Karo.
Namun tidak semua generasi paham dengan kearifan tradisi itu. Terutama generasi muda. Itu sebabnya diperlukan gaya kontemporer dengan inovasi-inovasi baru yang tidak menghilangkan sisi tradisi itu sendiri.

Kebetulan saya melangkah dari seni kontemporer. Dari 5 tahun saya mendedikasikan penuh hidup saya di kesenian, saya selalu mengangkat tema-tema kontemporer. Saya selalu mengangkat nilai-nilai budaya lokal dan mengangkatnya dengan gaya kontemporer dalam karya saya. Sebelum terjun penuh di kesenian Karo, saya pernah mendalami budaya Mesir saat menggarap Cleopatra, budaya Cina saat saya buat San Pek Eng Tay, budaya Yunani saat saya mementaskan A Midsummer Night’s Dream, hingga budaya Romawi saat saya mempersembahkan Pilar Roma.
Pawang Ternalem adalah start dari pertunjukan kontemporer profesional saya. Orang-orang menonton sebuah tradisi Karo dengan gaya modern. Penataan lighting, efek, artistik yang serba modern. Yang saya tahu saat mementaskannya, pertunjukan ini disukai dengan orang-orang lintas generasi. Generasi dulu dan generasi sekarang. Itulah kesenian kontemporer!
PUTRI HIJAU di tanggal 16-17 Oktober nanti…?
Saya akan menjanjikan pertunjukan Karo kontemporer yang berbeda. Saya sudah menyiapkan naskah yang penuh dengan plot-plot trik. Tokoh-tokoh yang dimainkan ada beragam. Mulai dari karakter misterius pada pemeran utama, hingga karakter komedian bahkan banci (bencong). Naskah ini dibangun dengan gaya serius dan disisipi oleh komedi-komedi berkelas. Artinya komedi yang hadir bukan komedi situasi khas teater rakyat. Komedi yang dibangun adalah komedi yang nyambung dengan perkembangan zaman dan keadaan.
Special efek, kostum, lighting, sound, akan saya garap dengan gaya modern. Bahkan dalam tarian, saya tidak hanya menyiapkan tarian 3 suku seperti Karo, Melayu, dan Aceh. Tapi saya juga sudah menyiapkan tarian kontemporer untuk PUTRI HIJAU saat mengalami cobaan batin waktu di Lau Pirik Seberaya dan Pancur Gading Deli Tua.
Saya sudah menyiapkan 35 orang aktor yang akan bermain maksimal. Beberapa diantaranya adalah aktor berkaliber Nasional bahkan Internasional. Orang-orang artistik seperti penata tari, musik, lighting, kostum, tata rias, sound, efek, dan artistik/dekorasi adalah orang-orang profesional yang siap memberikan terbaik untuk pertunjukan.ini. Sementara orang-orang organizer siap menset acara ini menjadi yang terbaik.
Saya adalah penanggungjawab pertunjukan ini. Bahkan kalau bisa dikata dari karya saya ini orang-orang akan melihat bagaimana sebuah eksistensi kebesaran suku Karo saat ini. Itu sebabnya saya terus memotivasi orang-orang yang bekerja untuk saya. Baik aktor, orang artisitk, dan orang organizer harus memberikan terbaik dengan karya mereka.
Sementara di sisi lain, saya mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang senantiasa mensupport saya. Baik itu keluarga saya tercinta. Kekasih saya.  Kaum tokoh-tokoh adat dan pembesar. Begitu juga orang-orang yang peduli pada budaya yang terus mensupport komunitas Teater Aron ini dengan dukungan doa dan materi.
Saya ucapkan terima kasih untuk anda semua. Anda semua telah membuat kepala saya tetap tegak dan tersenyum untuk kreatifitas.
PUTRI HIJAU akan hadir dihadapan anda seolah akan seperti merefleksi diri anda sendiri. Diri anda dengan kehidupan masa lampau. Suatu masa, saat nanti anda nanti menyaksikannya, niscaya anda akan mengalami “Rethinking Tradition!”
Anda akan rindu dengan budaya anda. Anda akan bangga dengan suku anda. Anda akan bangga menceritakannya pada orang-orang di sekeliling anda. Bahkan anda akan rindu untuk membangun kampung halaman anda.
Itulah sebabnya kenapa kami ingin sekali menyajikan PUTRI HIJAU ini untuk anda!
Bujur ras Mejuah-juah

Perubahan Alat Musik Dalam Kesenian Karo

      Perubahan yang terjadi dalam kesenian tradisional Karo adalah perubahan pemakaian alat musik, yaitu alat musik tradisional digantikan oleh satu alat musik barat yang dikenal dengan nama keyboard. Pada awalnya keyboard digabungkan dengan ensambel kesenian tradisional Karo dalam mengiringi seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron, namun belakangan alat musik Barat tersebut digunakan secara tunggal untuk mengiringi gendang guro-guro aron, tanpa disertai musik tradisional. Hal tersebut dapat terjadi karena keyboard yang digunakan telah memiliki fasilitas untuk memprogram suatu irama musik tertentu, sehingga irama musik tradisonal Karo dapat diprogram "menyerupai" bunyi musik Karo. Bunyi musik Karo imitasi yang muncul melalui keybaord sering disebut dengan gendang kibod. Terjadinya perubahan tersebut mengakibatkan gendang guro-guro aron semakin sering dilaksanakan oleh komunitas masyarakat Karo, baik di wilayah kabupaten Karo, maupun di wilayah kota Medan. Dalam perkembangan selanjutnya, keyboard juga telah dipergunakan dalam beberapa konteks upacara tradisi Karo lainnya. Perubahan pemakaian alat musik ini dicermati melalui penelitian dengan rumusan (1) bagaimana bentuk perubahan alat musik yang terjadi dalam kebudayaan musik tradisional Karo, (2) apa fungsi dari perubahan alat musik tersebut bagi masyarakat Karo, (3) apa makna perubahan alat musik tersebut bagi masyarakat Karo. Ketiga permasalahan tersebut dibahas berdasarkan teori akulturasi, teori perubahan, dan teori fungsi musik. Oleh karena permasalahan adalah perubahan yang terjadi dalam seni pertunjukan dan upacara adat, maka unsur pengamatan (observasi) pada saat berlangsungnya hal tersebut merupakan hal penting yang dilakukan dalam penelitian ini. Dalam setiap pengamatan, penulis juga mengadakan wawancara dengan beberapa kalangan, terutama kalangan seniman tradisional Karo serta orang-orang Karo yang dianggap mengetahui permasalahan ini. Beberapa pertemuan secara khusus juga dilakukan dengan informan guna mendapatkan informasi lebih lengkap. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, studi pustaka dan rekaman, baik audio maupun video yang berkaitan dengan perubahan tersebut. Semuanya kemudian dianalisis dengan pendekatan budaya yang bersifat holistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan alat musik tersebut menimbulkan akulturasi di dalam seni pertunjukan tradisional Karo. Alat musiknya berasal dari Barat, pemakaiannya di dalam konteksnya tradisional Karo. Fungsi perubahan alar musik menunjukkan tiga hal mendasar, yakni: terjadinya pergeseran fungsi musik, timbulnya fungsi musik yang baru, yaitu: fungsi ekonomi, fungsi imitasi dan individu, dan musik semakin berfungsi sebagai sarana hiburan dan sarana pengintegrasian masyarakat Karo. Perubahan alat musik tersebut juga melahirkan beberapa makna musik yang baru pada masyarakat Karo, seperti: makna seni populer, ekonomi, keseragaman, ketergantungan teknologi.

Alat Musik Tradisional Karo

Alat Musik Karo

      Sierjabaten begitulah sebutan Orang Karo kepada pemain musik tradisional-nya, dimana mereka (Sierjabaten atau penggual) berfungsi sebagai pengiring musik upacara adat Suku Karo, baik itu pernikahan, pesta panen, Kemalangan atau lainnya. Jadi dari hal tersebut maka sebenarnya profesi ini bisa dibilang sudah cukup lama sekali ada dalam perkembangan dan perjalanan hidup Suku Karo. Mengenai kepastian mulai kapan julukan atau penamaan ini mulai dikenal dan di populerkan saya kurang tau pasti , yang jelas profesi ini berkaitan sekali dengan kesenian tradisional Suku Karo. Jadi menurut saya mereka mulai dikenal ketika masyarakat Karo menyadari kebutuhan akan hiburan dalan setiap acara adat mereka.

Pada kenyataanya peran serta mereka sangatlah vital dalam setiap acara pesta adat, sebab tanpa mereka sebuah acara adat tidak lengkap dan sempurna, mereka adalah sekumpulan penghibur juga bisa dibilang irama, nyawa dan tolak ukur kemeriahan sebuah acara adat. Semakin hebat keahlian mereka dalam bermain musik maka makin tinggi pula pamor mereka (Sierjabaten) dimata masayarakat Karo.
Sierjabaten memiliki keahlian dalam bemain berbagai macam alat musik tradisoanal Karo yang terdiri atas Sarune, Gendang Singanaki, Gendang singindungi, Gendang penganak, dan gung. Setiap pemain alat musik mempunyai nama masing masing sesuai dengan alat musik yang mereka mainkan, pemain sarune disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut penggua, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung, serta pemain mangkuk michiho disebut simalu mangkuk michiho.
Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasan mengenai setiap alat musik Tradisonal Karo :

A. Sarune.
    a. Anak-anak sarune, terbuat dari daun kelapa dan embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3-4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah tua dan kering. Daun dibentuk triangel sebanyak dua lembar. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan pada embulu-embulu, dengan posisi kedua sudut daun tersebut,
    b.Tongkeh sarune, bagian ini berguna untuk menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sama dengan jarak antara satu lobang nada dengan nada yang lain pada lobang sarune,
    c. ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-embulu sarune yang berguna untuk penampung bibir pada saat meniup sarune. Bentuknya melingkar dnegan diameter 3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak,
    d. batang sarune, bagian ini adalah tempat lobang nada sarune, bentuknya konis baik bagian dalam maupun luar. Sarune mempunyai delapan buah lobang nada. Tujuh di sisi atas dan satu di belakang. Jarak lobang 1 ke lobang adalah 4,6 cm dan jarak lobang VII ke ujung sarune 5,6 cm. Jarak antara tiap-tiap lobang nada adalah 2 cm, dan jarak lubang bagian belakang ke lempengan 5,6 cm.
    e. gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari bahan yang sama dengan batang sarune. Bentuk bagian dalamnya barel, sedangkan bentuk bagian luarnya konis. ukuran panjang gundal sarune tergantung panjang batang sarune yaitu 5/9.
B. Gendang

     Alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasi ke dalam kelompok membranofon konis ganda yang dipukul dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindung (induk). Gendang singanaki di tambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang itu adalah:
    tutup gendang, yaitu bagian ujung konis atas. Tutup gendang ini terbuat dari kulit napuh (kancil). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir penampang endang. Bingkainya terbuat dari bambu.
    Tali gendang lazim disebut dengan tarik gendang terbuat dari kayu nangka(Artocarpus integra sp). Salah satu sampel contoh ukuran untuk bagian atas gendang anak adalah 5 cm, diameter bagian bawah 4 cm dan keseluruhan 44 cm. ukuran gendang kecil yang dilekatkan pada gendang anak, diameter bagian atas 4 cm, diameter bagian bawah 3 cm, dan panjang keseluruhan 11,5 cm. Alat pukulnya (stik) terbuat dari kayu
    jeruk purut. Alat pukul gendang keduanya sama besar dan bentuknya. Panjangnya 14 cm dan penampang dan penampung relatif 2 cm.
    Untuk gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan alat pukulnya juga terbuat dari kayu jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampangnya lebih besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk kiri. Panjang keduanya sama 14 cm.
C. Gung dan penganak
Yaitu pengatur ritme musik tradisional Karo. Gung ini diklasifikasikan ke dalam kategori idiofon yang terbuat dari logam yang cara memainkannya digantung. Gung terbuat dari tembaga, berbentuk bundar mempunyai pencu. Gung dalam musik tradisional Karo terbagi dua yaitu gung penganak dangung. Salah satu contoh ukuran gung penganak diameternya 15,6 cm dengan pencu 4 cm dan ketebalan sisi lingkarannya 2,8 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapis dengan karet. Gung mempunyai diameter 65 cm dengan pencu berdiameter 15 cm dan tebal sisi lingkarannya 10 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapisi karet.
Demikianlah sedikit informasi dan pembahasan yang saya dapat dari internet, semoga berguna. Pesan moral yang ingin saya sampaikan adalanh, saat ini sulit sekali menemui Sierjabaten yang Tradisional, karena saat ini lebih banyak dan lebih populer Sierjabaten yang mengunakan alat Moderen yang lebih dikenal dengan Keyboard (Pekeyboard)…Gendang Karo tradisoanal mulai tergeser dengan gendang karo moderen…Olah sebap itu mari kita lestarikan seni musik tradisional Karo sebagai salah satu identitas Suku Karo yang tidak boleh hilang.

Jumat, 13 April 2012

Sejarah Budaya Karo

Asal Usul Budaya Karo

  1. Menurut sumber yang saya temukan, pada zaman dahulu kala ada seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa. Dia tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang jauh sekali di seberang lautan. Dia mempunyai seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
    Pada suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau. Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh cinta kepada panglima perang tersebut. Akhirnya maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit yang mereka buat sendiri.
    Demikianlah mereka mulai berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang. Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.
    Dalam perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya. Dengan demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.
    Dan tiba di suatu tempat. Mereka tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya.
    Di pulau itu mereka hidup penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh dayang-dayang dan pengawal mereka. Setelah itu mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang bernama Belawan.

    Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang disebut Durin Tani. Di sana terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman. Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.
    Setelah beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar, Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut. Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.
    Mereka sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya, karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon “jabi-jabi” (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.
    Beberapa hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi Karo ( Tanah Karo).
    Pertama-tama mereka membangun rumah mereka dari kayu yang ada di tempat itu, beratapkan alang-alang, dan dindingnya berasal dari pohon enau. Dan mereka membangun 5 dapur dalam satu rumah. Si Karo mengangkat si Talon menjadi Kalimbubu, dan kedua dayang-dayang itu menjadi anaknya. Dan kedua pengawalnya diangkatnya menjadi menantunya. Dan mereka juga menikah.
    Setelah beberapa lama mereka tinggal di tempat itu, si Karo memiliki lima anak. Tetapi semuanya adalah perempuan, dan semuanya sangat cantik, jelita. Beberapa tahun kemudian barulah lahir seorang anak laki-laki. Mereka menamainya Meherga (berharga). Dan dari kata inilah asal kata Marga.

    Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba umumnya untuk Batak Tapanuli. Pa


Mejuah-juah kita kerina!
    • Merga Karo terdapat lima kelompok suku Karo, yaitu: Karokaro, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Perangin-angin. Klan (nama keluarga) dalam suku bangsa Karo disebut merga berbeda halnya dengan suku bangsa Batak (Silindung-Samosir-Humbang-Toba) yang disebut dengan marga.
      Cabang-cabang merga suku Karo dan persebarannya.
      A. Merga Karokaro dan cabang-cabangnya
    • Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan.
    • Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.
    • Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat
    • Karokaro Sinukaban di Kaban dan Sumbul.
    • Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta.
    • Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.
    • Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang.
    • Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu).
    • Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen.
    • Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.
    • Karokaro Kaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.
    • Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat.
    • Karokaro Sekali di Seberaya.
    • Karokaro Kemit di Kuta Bale.
    • Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.
    • Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata.
    • Karokaro Samura di Samura.
    • Karokaro Sitepu di Naman dan Sukanalu
    B. Merga Ginting dan cabang-cabangnya
  1. Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah, dan Bulan Jahe.
  2. Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat.
  3. Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.
  4. Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur.
  5. Ginting Ajartambun di Rajamerahe.
  6. Ginting Capah di Bukit dan Kalang.
  7. Ginting Beras di Laupetundal.
  8. Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging.
  9. Ginting Jadibata di Juhar.
  10. Ginting Suka Ajartambun di Rajamerahe.
  11. Ginting Manik di Tengging dan Lingga.
  12. Ginting Sinusinga di Singa.
  13. Ginting Jawak di Cingkes (?)
  14. Ginting Seragih di Lingga Julu.
  15. Ginting Tumangger di Kidupen dan Kemkem.
  16. Ginting Pase di …. (lenyap?)
C. Merga Tarigan dan Cabang-cabangnya
  1. Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.
  2. Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu.
  3. Tarigan Silangit di Gunung Meriah.
  4. Tarigan Tua di Pergendangen, Talimbaru.
  5. Tarigan Tegur di Suka.
  6. Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu.
  7. Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun).
  8. Tarigan Gana-gana di Batukarang.
  9. Tarigan Jampang di Pergendangen.
  10. Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll.
  11. Tarigan Bondong di Lingga.
  12. Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu
  13. Tarigan Purba di Purba (Simalungun)
D. Merga Sembiring dan Cabang-cabangnya
I. Sembiring Siman biang (Tidak biasa kawin campur darah dengan cabang Sembiring lainnya, artinya: tidak diperbolehkan perkawinan dengan sesama merga Sembiring).
  1. Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.
  2. Sembiring Sinulaki di Silalahi.
  3. Sembiring Keloko di Pergendangen.
  4. Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri
II. Sembiring Simantangken biang (ada dilakukan perkawinan antara cabang merga Sembiring)
  1. Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.
  2. Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding.
  3. Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.
  4. Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.
  5. Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kedupen, Kabanjahe, Naman, Berastepu, dan Biaknampe.
  6. Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga.
  7. Sembiring Tekang di Kaban.
  8. Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.
  9. Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.
  10. Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).
  11. Sembiring Busuk di Kidupen dan Lau Perimbon.
  12. Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang(?) Sarintono.
  13. Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.
  14. Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding
E. Merga Peranginangin dan cabang-cabangnya
  1. Peranginangin Namohaji di Kutabuluh.
  2. Peranginangin Sukatendel di Sukatendel.
  3. Peranginangin Mano di Pergendangen.
  4. Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat.
  5. Peranginangin Pencawan di Perbesi.
  6. Peranginangin Sinurat di Kerenda.
  7. Peranginangin Perbesi di Seberaya.
  8. Peranginangin Ulunjandi di Juhar.
  9. Peranginangin Penggarus di Susuk.
  10. Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang).
  11. Peranginangin Uwir di Singgamanik.
  12. Peranginangin Laksa di Juhar.
  13. Peranginangin Limbeng di Kuta Jurung, Biru-Biru, Deli Serdang.
  14. Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun.
  15. Peranginangin Keliat di Mardinding.
  16. Peranginangin Kacinambun di Kacinambun.
  17. Peranginangin Bangun di Batukarang.
  18. Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu.
  19. Peranginangin Benjerang di Batukarang
Sebagian dari marga Peranginangin dan Sembiring dapat kawin sesamanya (antar cabang merga).
Ada pula merga yang melakukan Sejandi yaitu perjanjian tidak saling mengambil atau tidak mengadakan perkawinan antar merga bersangkutan, misalnya : antara Sembiring Tekang dengan Karokaro Sinulingga dan antara Karokaro Sitepu dengan Peranginangin Sebayang.

Mengenai Saya

Statistik Pengunjung

Biring Ranking